Sabtu, 08 Mei 2010

Panca Sradha


A. PENGERTIAN PANCA SRADHA

Agama Hindu disebut pula dengan Hindu Dharma, Vaidika Dharma ( Pengetahuan Kebenaran) atau Sanatana Dharma ( Kebenaran Abadi ). Untuk pertama kalinya Agama Hindu berkembang di sekitar Lembah Sungai Sindhu di India. Agama Hindu adalah agama yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa, yang diturunkan ke dunia melalui Dewa Brahma sebagai Dewa Pencipta kepada para Maha Resi untuk diteruskan kepada seluruh umat manusia di dunia.
Ada tiga kerangka dasar yang membentuk ajaran agama Hindu, ketiga kerangka tersebut sering juga disebut tiga aspek agama Hindu. Ketiga kerangka dasar itu antara lain :
1. Tattwa, yaitu pengetahuan tentang filsafat agama
2. Susila, yaitu pengetahuan tentang sopan santun, tata krama
3. Upacara, yaitu pengetahuan tentang yajna, upacara agama
Di dalam ajaran Tattwa di dalamnya diajarkan tentang “ Sradha “ atau kepercayaan. Sradha dalam agama Hindu jumlahnya ada lima yang disebut “ Panca Sradha “.

B. PEMBAGIAN PANCA SRADHA
Panca Sradha terdiri dari :
a. Brahman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Widhi
b. Atman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Atman
c. Karma, artinya percaya akan adanya hukum karma phala
d. Samsara, artinya percaya akan adanya kelahiran kembali
e. Moksa, artinya percaya akan adanya kebahagiaan rokhani.

Untuk menciptakan kehidupan yang damai seseorang wajib memiliki sradha yang mantap. Seseorang yang sradhanya tidak mantap hidupnya menjadi ragu, canggung, dan tidak tenang.
Cobalah perhatikan kegelisahan dan ketakutan seorang anak di arena sirkus. Anak kecil menjerit ketakutan ketika disuruh bersalaman dengan seekor harimau, walaupun di dampingi oleh seorang Pawang. Mengapa ketakutan itu bisa terjadi ?
Tidak lain karena anak kecil itu belum mempunyai kepercayaan penuh bahwa harimau itu akan jinak dan telah terlatih oleh pawangnya. Jadi kesimpulannya kepercayaan yang mantap dapat menciptakan ketenangan.

C. PENJELASAN MASING – MASING BAGIAN PANCA SRADHA

1. Brahman ( Percaya akan adanya Hyang Widhi )
Hyang Widhi adalah yang menakdirkan, maha kuasa, dan pencipta semua yang ada. Kita percaya bahwa beliau ada, meresap di semua tempat dan mengatasi semuanya “ Wyapi Wyapaka Nirwikara “
Di dalam kitab Brahman Sutra dinyatakan “ Jan Ma Dhyasya Yatah “ artinya Hyang Widhi adalah asal mula dari semua yang ada di alam semesta ini. Dari pengertian tersebut bahwa Hyang Widhi adalah asal dari segala yang ada. Kata ini diartikan semua ciptaan, yaitu alam semesta beserta isinya termasuk Dewa – dewa dan lain – lainnya berasal dan ada di dalam Hyang Widhi. Tidak ada sesuatu di luar diri beliau. Penciptaan dan peleburan adalah kekuasaan beliau.
Agama Hindu mengajarkan bahwa Hyang Widhi Esa adanya tidak ada duanya. Hal ini dinyatakan dalam beberapa kitab Weda antara lain :
a. Dalam Chandogya Upanishad dinyatakan : “ Om tat Sat Ekam Ewa Adwityam Brahman “ artinya Hyang Widhi hanya satu tak ada duanya dan maha sempurna
b. Dalam mantram Tri Sandhya tersebut kata – kata :
“ Eko Narayanad na Dwityo Sti Kscit “ artinya hanya satu Hyang Widhi dipanggil Narayana, sama sekali tidak ada duanya.
c. Dalam Kitab Suci Reg Weda disebutkan “
“ Om Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti “ artinya Hyang Widhi itu hanya satu, tetapi para arif bijaksana menyebut dengan berbagai nama.

d. Dalam kekawin Sutasoma dinyatakan :
Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa artinya berbeda – beda tetapi satu, tak ada Hyang Widhi yang ke dua.

Dengan pernyataan – pernyataan di atas sangat jelas, umat Hindu bukan menganut Politheisme, melainkan mengakui dan percaya adanya satu Hyang Widhi.
Hindu sangat lengkap, dan fleksibel. Tuhan dalam Hindu di insafi dalam 3 aspek utama, yaitu Brahman ( Yang tidak terpikirkan ), Paramaatma ( Berada dimana-mana dan meresapi segalanya ), dan Bhagavan ( berwujud )

2. Atman ( Percaya akan adanya Sang Hyang Atma )
Atma berasal dari Hyang Widhi yang memberikan hidup kepada semua mahluk. Atma atau Sang Hyang Atma disebut pula Sang Hyang Urip. Manusia, hewan dan tumbuhan adalah mahluk hidup yang terjadi dari dua unsur yaitu badan dan atma.
Badan adalah kebendaan yang terbentuk dari lima unsur kasar yaitu Panca Maha Butha. Di dalam badan melekat indria yang jumlahnya sepuluh ( Dasa Indria )
Atma adalah yang menghidupkan mahluk itu sendiri, sering juga disebut badan halus . atma yang menghidupkan badan manusia disebut “ Jiwatman “
Badan dengan atma ini bagaikan hubungan Kusir dengan Kereta. Kusir adalah atma, dan kereta adalah badan. Indria yang ada pada badan kita tidak akan ada fungsinya apabila tidak ada atma. Misalnya, mata tidak dapat digunakan untuk pengelihatan jika tidak dijiwai oleh atma. Telinga tidak dapat digunakan untuk pendengaran jika tidak dijiwai oleh atma.
Atma yang berasal dari Hyang Widhi mempunyai sifat “ Antarjyotih “ ( bersinar tidak ada yang menyinari, tanpa awal dan tanpa akhir, dan sempurna ). Dalm kitab Bhagadgita disebut sifat – sifat atma sebagai berikut :
- Achodyhya artinya tak terlukai oleh senjata
- Adahya artinya tak terbakar oleh api
- Akledya artinya tak terkeringkan oleh angin
- Acesyah artinya tak terbasah oleh air
- Nitya artinya abadi, kekal
- Sarwagatah artinya ada dimana – mana
- Sthanu artinya tak berpindah – pindah
- Acala artinya tak bergerak
- Sanatana artinya selalu sama
- Adyakta artinya tak terlahirkan
- Achintya artinya tak terpikirkan
- Awikara artinya tak berjenis kelamin
Jelaslah atma itu sifatnya sempurna. Tetapi pertemuan antara atma dengan badan yang kemudian menimbulkan ciptaan menyebabkan atma dalam keadaan “ Awidhya “. Awidhya artinya gelap lupa kepada kesadaran . Awidhya muncul karena pengaruh unsur panca maha butha yang mempunyai sifat duniawi. Sehingga dalam hidup ini atma dalam diri manusia di dalam keadaan awidhya.
Dalam keadaan seperti ini kita hidup kedunia bertujuan untuk menghilangkan awidhya untuk meraih kesadaran yang sejati dengan cara melaksanakan Subha karma. Menyadari sifat atma yang serba sempurna dan penuh kesucian menimbulkan usaha untuk menghilangkan pengaruh awidhya tadi. Karena apabila manusia meninggal kelak hanya badan yang rusak, sedangkan atmanya tetap ada kembali akan mengalami kelahiran berulang dengan membawa “ Karma Wasana “ ( bekas hasil perbuatan ). Oleh karena itu, manusia lahir kedunia harus berbuat baik atas dasar pengabdian untuk membebaskan Sang Hyang Atma dari ikatan duniawi. Sesungguhnya jika tidak ada pengaruh duniawi Hyang Widhi dan Atma itu adalah tunggal adanya ( Brahman Atman Aikyam )

3. Karma ( Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala )
Setiap perbuatan yang kita lakukan di dunia ini baik atau buruk akan memberikan hasil. Tidak ada perbuatan sekecil apapun yang luput dari hasil atau pahala, langsung maupun tidak langsung pahala itu pasti akan datang.
Kita percaya bahwa perbuatan yang baik atau Subha karma membawa hasil yang menyenangkan atau baik. Sebaliknya perbuatan yang buruk atau Asubha karma akan membawa hasil yang duka atau tidak baik.
Perbuatan – perbuatan buruk atau Asubha karma menyebabkan Atma jatuh ke Neraka, dimana ia mengalami segala macam siksaan. Bila hasil perbuatan jahat itu sudah habis terderita, maka ia akan menjelma kembali ke dunia sebagai binatang atau manusia sengsara ( Neraka Syuta ). Namun, bila perbuatan – perbuatan yang dilakukan baik maka berbagai kebahagiaan hidup akan dinikmati di sorga. Dan bila hasil dari perbuatan – perbuatan baik itu sudah habis dinikmati, kelak menjelma kembali ke dunia sebagai orang yang bahagia dengan mudah ia mendapatkan pengetahuan yang utama.
Jika dilihat dari sudut waktu, Karma phala dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
- Sancita karma phala
Adalah hasil dari perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang. Bila karma kita pada kehidupan yang terdahulu baik, maka kehidupan kita sekarang akan baik pula ( senang, sejahtera, bahagia ). Sebaliknya bila perbuatan kita terdahulu buruk maka kehidupan kita yang sekarang inipun akan buruk ( selalu menderita, susah, dan sengsara )
- Prarabda karma phala
Adalah hasil dari perbuatan kita pada kehidupan sekarang ini tanpa ada sisanya, sewaktu masih hidup telah dapat memetik hasilnya, atas karma yang dibuat sekarang. Sekarang menanam kebijaksanaan dan kebajikan pada orang lain dan seketika itu atau beberapa waktu kemudian dalam hidupnya akan menerima pahala, berupa kebahagiaan. Sebaliknya sekarang berbuat dosa, maka dalm hidup ini dirasakan dan diterima hasilnya berupa penderitaan akibat dari dosa itu.
Prarabda karma phala dapat diartikan sebagai karma phala cepat.
- Kriyamana karma phala
Adalah pahala dari perbuatan yang tidak dapat dinikmati langsung pada kehidupan saat berbuat. Tetapi, akibat dari perbuatan pada kehidupan sekarang akan dan di terima pada kehidupan yang akan datang, setelah orangnya mengalami proses kematian serta pahalanya pada kelahiran berikutnya. Apabila karma pada kehidupan yang sekarang baik maka pahala pada kehidupan berikutnya adalah hidup bahagia, dan apabila karma pada kehidupan sekarang buruk maka pahala yang kelak diterima berupa kesengsaraan.
Tegasnya cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Kita tidak dapat menghindari hasil perbuatan kita itu baik atau buruk. Maka kita selaku manusia yang dilengkapi dengan bekal kemampuan berpikir, patutlah sadar bahwa penderitaan dapat diatasi dengan memilih perbuatan baik. Manusia dapat berbuat atau menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.

4. Samsara ( Percaya dengan adanya kehidupan kembali )
Samsara disebut juga Punarbhawa yang artinya lahir kembali ke dunia secara berulang – ulang. Kelahiran kembali ini terjadi karena adanya atma masih diliputi oleh keinginan dan kemauan yang berhubungan dengan keduniawian.
Kelahiran dan hidup ini sesungguhnya adalah sengsara, sebagai hukuman yang diakibatkan oleh perbuatan atau karma di masa kelahiran yang lampau. Jangka pembebasan diri dari samsara, tergantung pada perbuatan baik kita yang lampau ( atita ) yang akan datang ( nagata ) dan sekarang ( wartamana ).
Pembebasan dari samsara berarti mencapai penyempurnaan atma dan mencapai moksa yang dapat dicapai di dunia ini juga. Pengalaman kehidupan samsara ini dialami oleh Dewi Amba dalam cerita Mahabharata yang lahir menjadi Sri Kandi.
Selanjutnya keyakinan adanya Punarbhawa ini akan menimbulkan tindakan sebagai berikut :
- Pitra Yadnya
Yaitu memberikan korban suci terhadap leluhur kita, karena kita percaya leluhur itu masih hidup di dunia ini yang lebih halus.
- Pelaksanaan dana Punya ( amal saleh ), karena perbuatan ini membawa kebahagiaan setelah meninggal.
- Berusaha menghindari semua perbuatan buruk karena jika tidak, akan membawa ke alam neraka atau menglami kehidupan yang lebih buruk lagi.

5. Moksa ( Percaya dengan adanya kebahagiaan rokhani )
Moksa berarti kebebasan. Kamoksan berarti kebebasan yaitu bebas dari pengaruh ikatan duniawi, bebas dari karma phala, bebas dari samsara, dan lenyap dalam kebahagiaan yang tiada tara. Karena telah lenyap dan tidak mengalami lagi hukum karma, samsara, maka alam kamoksam itu telah bebas dari urusan – urusan kehidupan duniawi, tidak mengalami kelahiran lagi ditandai oleh kebaktian yang suci dan berada pada alam Parama Siwa.
Alm moksa sesungguhnya bisa juga dicapai semasa masih kita hidup di dunia ini, keadaan bebas di alam kehidupam ini disebut Jiwan Mukti atau moksa semasa masih hidup.
Moksa sering juga diartikan berstunya kembali atma dengan Parama Atma di alam Parama Siwa. Dialam ini tiada kesengsaraan, yang ada hanya kebahagiaan yang sulit dirasakan dalam kehidupan di dunia ini ( Sukha tan pawali Duhka ).
Syarat utama untuk mencapai alam moksa ini ialah berbhakti pada dharma, berbhakti dengan pikiran suci. Kesucian pikiran adalah jalan utama untuk mendapatkan anugrah utama dari Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dapat dibandingkan dengan besi yang bersih dari karatan, maka dengan mudah dapat ditarik oleh magnet. Tetapi besi itu kotor penuh dengan karatan maka sangat sukar dapat ditarik oleh magnet.
Moksa merupakan tujuan akhir yang harus diraih oleh setiap orang menurut ajaran agama Hindu. Tujuan tersebut dinyatakan dengan kalimat “ Mokharatam Jagadhita ya ca iti Dharma “.
Moksa sebagai tujuan akhir dapat dicapai melalui empat jalan yang disebut Catur Marga yang terdiri dari :
- Bhakti Marga ( jalan Bhakti )
- Karma Marga( jalan Perbuatan )
- Jnana Marga( Jalan Ilmu Pengetahuan )
- Raja Marga ( Jalan Yoga )

Jumat, 23 April 2010

Filosofi Air dan Tirtha






Tanggal : 22-06-2007

Air merupakan sarana yajnya yang penting. Ada dua jenis air yang dipakai dalam yajnya, yaitu: air untuk membersihkan mulut dan tangan; serta air suci yang disebut tirta. Tirta ini pun ada dua macamnya. Pertama, tirta yang didapat dengan memohon kepada Tuhan dan Batara-batari. Kedua, tirta yang dibuat oleh pendeta dengan puja.
Tirta itu berfungsi untuk membersihkan kekotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya adalah dengan dipercikkan di kepala, diminum, dan diusapkan di muka, sebagai simbolis pembersihan bayu, sabda, dan idep.
Tirta bukanlah air biasa. Tirta adalah benda materi yang sakral dan mampu menumbuhkan perasaan, pikiran yang suci. Itu dasarnya adalah kepercayaan. Tanpa kepercayaan, umat Hindu tidak akan dapat membuktikan bahwa itu bukan air biasa. Tirta adalah sarana agama. Membuktikan kebenaran agama, dasar utamanya adalah kepercayaan. Rasio hanya sebagai pembantu saja.
Kalau tirta itu dipandang secara rasional semata, tidaklah lebih daripada air biasa, yang kalau diuraikan secara ilmu kimia adalah H2O, yaitu dua hidrogen dan satu oksigen. Karena itu kesucian tirta hanya dapat dibuktikan kalau dia diyakini sebagai benda agama, di mana di dalamnya terdapat kekuatan spiritual para dewa sebagai manifestasi Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Karena itu umat Hindu, dalam melakukan persembahyangan, sikap yang paling penting ditumbuhkan pada diri sendiri adalah kepercayaan terhadap sarana-sarana tersebut, sebagai pendorong, memperkuat batin terhadap sarana yang memiliki kekuatan magis religius yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Yakinilah bahwa tirta itu adalah wujud nyata karunia Tuhan untuk memberkati hidup kita menuju suci dan bahagia. Unsur rasio dalam memandang tirta itu adalah sebagai pembantu mempersiapkan sarana pembuatannya. Pakailah air yang benar-benar bersih, sehat secara fisik, tidak ada kuman-kuman di dalamnya, tempatnya juga dipakai tempat yang bersih. Demikian pula tangan, bunga, serta alat-alat lain hendaknya alat yang benar-benar bersih secara higienis.
Demikian peranan rasio untuk menunjang keyakinan itu. Tidaklah tepat keyakinan itu secara membabi-buta. Siapkanlah segala bahan dan alat-alat yang berhubungan dengan pembuatan tirta itu, yang memenuhi syarat-syarat kesehatan. Kalau hal ini sudah dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan rasional, setelah air itu berstatus menjadi tirta barulah dasar utamanya untuk menghayati kesucian adalah dengan keyakinan. Inilah pola berpikir agama yang dikatakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan pola berpikir “sekala niskala”. Berpikir secara nyata dan tidak nyata, untuk lebih meningkatkan keyakinan kepada tirta.
Kata tirta berasal dari bahasa Sansekerta. Kamus Sansekerta-Indonesia yang diterbitkan oleh Pemda Tingkat I Bali menyebutkan arti kata tirta sebagai: pemandian atau sungai; kesucian atau setitik air; toya atau air suci; sungai yang suci; pemandian/sungai/air suci; tempat berziarah; mengunjungi tempat-tempat suci; bersuci dengan air; air suci; pemandian; tempat mandi atau tempat yang dapat diseberangi.
Dalam lontar Pariti Agama Tirta disebutkan, “Tirta ngaran amrta,“ artinya tirta adalah hidup (tidak mati). Sedangkan lontar Agama Tirta menyebutkan, “/U/ ngaran uddhakam ngaran gangga, ngaran tirta suci.” Kata uddhaka dalam bahasa Sansekerta artinya ‘laut’. Fungsi laut dalam agama Hindu adalah sebagai tempat penyucian atau tempat pelebur segala kotoran.
Dalam lontar Kusuma Dewa Gong Wesi disebutkan, “Salwir bebanten yajnyan matirta tan karyan pedanda putus tan ketampi atuannya.” Artinya: segala sajian (bebanten) kalau tidak disucikan dengan tirta yang dibuat oleh pendeta utama, tidak akan diterima persembahannya. Oleh karena inilah setiap upakara yang disucikan yang digunakan sebagai sarana persembahan, terlebih dahulu dipercikki tirta panglukatan.
Istilah panglukatan berasal dari kata lukat dalam bahasa Jawa Kuna, berarti membebaskan. Fungsi tirta panglukatan dan tirta pabersihan merupakan penyucian tahap pertama untuk membebaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan upakara keagamaan, dari segala kotoran fisik dan spiritual. Sedangkan tirta pabersihan merupakan suatu keyakinan bahwa segala sesuatu itu benar-benar bersih suci.
Tirta untuk melakukan yajnya ada dua jenis, yaitu tirta pabersihan dan tirta wangsuhpada. Tirta pembersihan berfungsi untuk menyucikan upakara (babanten) yang akan dipakai sarana persembahyangan dan juga dipakai untuk menyucikan diri dari segala kekotoran. Tirta pabersihan ini dipergunakan sebelum inti persembahyangan dilakukan. Setelah upakara dan diri sendiri diperciki tirta pabersihan barulah dilangsungkan persembahyangan.
Sebagai penutup persembahyangan dipergunakan tirta wangsuhpada dari Ida Batara yang disembah. Tirta wangsuhpada ini adalah lambang karunia atau waranugraha Ida Batara kepada umat yang memuja, berupa amrta, artinya kehidupan yang sejahtera.
Selanjutnya tirta dibedakan dari cara memperolehnya, yaitu: tirta yang dibuat oleh sulinggih; dan tirta yang didapat melalui memohon (nuur) oleh pamangku, pinandita, dan dalang/balian/sang yajamana.
Pembuatan tirta oleh sulinggih/sang diksita/sang dwijati, khusus untuk tirta pabersihan, sebagai dasar untuk mempergunakan berbagai jenis tirta yang lainnya. Adapun garis besar cara pembuatannya adalah sebagai berikut. Pertama-tama semua bahan atau alat pembuatan tirta dipersiapkan terlebih dulu dalam keadaan bersih dan sehat (higienis). Bahan dan alat-alat tersebut, misalnya, air yang diambil dari tempat yang betul-betul bersih, dhupa dan dipa, asaban cendana, wija (bija), daun alang-alang, dan lainnya. Mula-mula oleh sulinggih (pendeta) air diasapi dan dituangkan pada siwambha disertai dengan puja mantra nama Gangga, kemudian dilanjutkan dengan puja kuta mantra, setelah itu diisi dengan wangi-wangian.
Proses berikutnya dengan menulisi air dalam siwambha, memakai bunga, dengan tulisan aksara “Am, Um, Mam” disertai dengan puja tri purusa mantra, dilanjutkan dengan menulis aksara “Im”. Ditulis melintang dari utara ke selatan, air alam siwambha diputar tiga kali, mengarah putaran jarum jam disertai dengan puja amrta saptawaja. Perputaran air tiga kali ini untuk menyatukan unsur-unsur “Am, Um, Mam” ke tengah menjadi “OM”. Adapun aliran air itu ke kanan menunjukkan lambang amrta (air kehidupan).
Ada pula tirta didapat dengan jalan nuur oleh pamangku, pinandita, atau dalang/balian/sang yajamana (penyelenggara upacara). Jenis tirta ini disebut tirta wangsuhpada, kekuluh, atau banyun cokor. Kalau tirta itu dimohon di suatu pura atau tempat suci lainnya, di mana telah ada pamangkunya, maka permohonan tirta wangsuhpada, kekuluh, atau banyun cokor itu dilaksanakan oleh pamangku bersangkutan.
Selain tirta panglukatan dikenal pula tirta pabersihan yang fungsinya sama dengan tirta penglukatan. Cuma tirta pabersihan merupakan penyucian tingkat lanjut. Kalau tirta panglukatan pemujaan ditujukan kepada Dewi Gangga dan Dewa Siwa, untuk memohon kelepasan segala kekotoran. Sedangkan tirta pabersihan, puja permohonannya ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai pencipta sungai-sungai, lambang penyucian yang bersifat nyata, diciptakan untuk disucikan, mensucikan, dan memelihara kesucian tersebut. Puja pembuatan tirta ini selain ditujukan untuk Dewi Gangga, juga ditujukan untuk Pancadewata dalam lambang Wijaksara sebagai urip bhuwana, sekaligus ditujukan kepada sungai-sungai suci di India sebagai wujud nyata anugerah Tuhan untuk membersihkan secara lahir batin semua unsur yang terkait dengan yajnya. Puja pembuatan tirta pabersihan antara lain:
OM Anantasanayanamah,
Om Padmasanayanamah,
OM, I, Ba,Sa, Ta, A,
Mang Ang Ung Namah,
OM AUM Dewa Prastisthayanamah,
OM Sa Ba Ta A I
OM Nama Siwaya,
Ang Ung Mang Namah
OM Gangga Saraswati Sindhu, Wipasa Kausikinadhi,
Yamuna Mahasresta Serayu, ca mahanadhi,
OM Ganggadewi mahapunya Ganggasahastra medhini
Makna puja tersebut merupakan puja yang lebih meningkatkan kesucian dengan memuja kekuatan suci Tuhan yang diwujudkan dalam tujuh sungai yang dianggap sebagai lambang penyucian di India, yaitu: Sungai Gangga, Saraswati, Sindu, Yamuna, Serayu, Kausaki, dan Mahasresta. Ketujuh sungai lambang ini sering disebut saptatirta di India. Pendeta dalam membuat tirta menggunakan mantram Apsu Dewa, yaitu mantram yang memohon kepada Dewi Gangga supaya menyucikan atau melepaskan segala pengaruh negatif yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara itu.
Selain itu ada pula pendeta yang menggunakan mantram panglukatan yang lain, untuk panglukatan segala sesajen, dengan mantram: OM Sidhi Guru Srang Sarasat, OM sarwa wighanaya namah, sarwa klesa sarwa roga, sarwa satru, sarwa papa, wisanaya namah swaha.
Memperhatikan mantram ini pada hakikatnya bertujuan agar upacara dapat terlepas dari godaan/hambatan, penyakit, cacat, musuh, dan papa supaya lenyap semuanya. Mantram tersebut adalah mantram pembuatan tirta panglukatan yang dibuat oleh pendeta. Sedangkan kalau pembuatan tirta oleh pamangku/pinandita dibuat melalui “memohon kehadapan Dewa Siwa atau nuur” Dewa Siwa yang berstana di Pura Besakih (Gunung Agung). Puja permohonan tirta ini untuk penyucian sesajen dan alat-alat kelengkapan upacara.
Adapun puja pembuatan tirta panglukatan untuk hal-hal lain, misalnya tirta panglukatan untuk pitrayajnya, berbeda dengan tirta panglukatan ini. Demikian disebutkan dalam lontar Pitrayajnya. Demikian pula puja panglukatan untuk orang sakit dicantumkan dalam lontar-lontar usada(Nick)

Paradigma Hindu Terhadap Penciptaan




Om Swastyastu,

Waktu adalah waktu, waktu adalah peristiwa, waktu adalah sejarah. Hanya waktu yang dapat mengisahkan masa lalu, masa kini dan masa muka. Hanya waktu yang dapat mengisahkan peristiwa agung Mahabharata, sebuah kisah wira abadi. Waktu juga yang mengisahkan jatuh bangun suatu tamadun.

Waktulah yang mengisahkan permusuhan antara kebaikan melawan kejahatan. Mahabharata adalah kisah vidya - cahaya melawan avidya - kegelapan. Tidak ada yang dapat mengisahkan karya agung dalam agama Hindu ini kecuali waktu. Sebab waktulah yang menjadi saksi sejarah, mengenai pahlawan yang terlibat dalam semua peristiwa.

Mahabharata adalah kisah Arjuna melawan Duryodhana di medan Kurukshetra. Mahabharata juga adalah intisari pengalaman lautan kehidupan insan mempertahankan kebenaran melawan kedurjanaan. Permusuhan antara baik dan jahat yang terus-menerus muncul berkesinambungan. Dan waktu tidak pernah mungkir, sebab ia kekal abadi. Waktu adalah utusan bagi menyampaikan hikayat yang gemilang dalam sejarah kehidupan manusia menerusi Kitab Suci Veda.

WARISAN VEDA

Menurut paradigma penganut Hindu, Veda adalah sumber segala dharma - kebenaran. Dan tidak ada agama besar di planet ini yang tidak dipengaruhi oleh Veda. Kisah kemunculan semua agama besar dunia adalah berdasarkan Veda. Meskipun penganut agama lain dikatakan sebagai telah melupai akarnya, namun hanya ada satu agama, Hindu yang sentiasa menjaga api kebijaksanaan Veda agar selamanya menyala.

Untuk memahami paradigma Hindu, kita perlu menoleh ke belakang, puluhan ribu tahun yang lalu, ke dalam sebuah wilayah India, di mana sebuah peradaban agung pernah lahir, dari pencapaian pengetahuan mereka, lahirlah sebuah jalan hidup yang akhirnya dikenali sebagai Hindu. Tamadun mereka dikenali sebagai Peradaban Lembah Sungai Indus, dan pengetahuan mereka dikumpul dalam sebuah naskah suci yang dikenali sebagai Veda. Veda bermakna pengetahuan yang berasal dari akar kata Sanskrit - Vida yang bermakna untuk mengetahui.

Pengetahuan Veda telah diwariskan dari generasi ke generasi semasa penganut Hindu dengan arahan yang amat tegas, bahawa apapun yang terjadi, satu huruf pun tidak boleh diganti dari naskah asalnya. Kawalan yang amat ketat ini telah dilakukan untuk mengekalkan kemurnian Veda. Veda terbahagi kepada dua bahagian. Pertama disebut Sruti, yang bermakna didengar, dan yang kedua disebut Smrti yang bermakna diingat.

WAKTU SEBELUM WAKTU

Laluan yang tidak pernah ditempuh sebelumnya, adalah perjalanan yang mempesonakan dan kebijaksanaan Veda akan membawa kita ke belakang, jutaan tahun yang lalu, bahkan ke zaman waktu sebelum ada.

RAHIM EMAS

“Sebelum penciptaan adalah rahim emas, ia adalah tuan dari segala yang lahir. Ia memegang bumi dan syurga.” (Rig Veda 10.121.1).

Penciptaan adalah kehendak yang maha kuasa. Sebelum penciptaan segala yang ada, adalah dalam bentuk tidak wujud. Bentuk tidak wujud ini disebut rahim emas, rahim bagi alam semesta, rahim bagi matahari, bintang dan segala galaksi yang terbentuk. Lantaran itulah, maka emas adalah warna kuasa dalam naskah Veda. Siapa yang tahu, siapa yang memberitahu dari mana dan mengapa penciptaan lahir, siapa yang tahu dari siapa alam semesta ini dilahirkan, dari siapa penciptaan ini dilahirkan. Keadaan sebelum penciptaan jauh di luar jangkauan pancaindera manusia. Yang ada hanyalah kosong dan segala yang kelihatan belum ada. Belum ada ruang dan waktu. Tidak ada jasad yang wujud. Ini merupakan konsep yang sangat penting dalam kosmologi Veda. Big Bang mengatakan bahawa semua jasad yang wujud di alam semesta ini muncul dari satu titik. Namun, mantra Veda menyatakan bahawa alam semesta ini adalah sama sekali kosong pada awalnya.

“Pada mulanya sama sekali tiada apa. Tiada syurga, tiada bumi dan tiada atmosfera.” (Taittiriya Brahmana 2.2.9.1).

PENCIPTAAN

Mantra (10.129.4) menjelaskan bahawa alam semesta dicipta dari keinginan yang maha kuasa. Jelas bercanggah dengan teori evolusi yang mendakwa bahawa kewujudan alam semesta hanyalah fenomena yang kebetulan.

Mantra (10.129.7) menjelaskan bahawa yang maha kuasa bersemayam di Parama Vyoma. Vyoma bermakna langit, Parama bermakna yang terjauh. Justeru, yang maha kuasa berada jauh di luar jangkauan kearifan manusia yang tertakluk kepada ruang dan waktu.

BRAHMANDA (TELUR YANG MENGEMBANG)

Perkataan dunia dalam bahasa Sanskrit ialah Brahmanda yang merupakan gabungan dari dua akar kata Brahma dan Anda. Brahma berasal dari akar kata Brha yang bermakna berkembang dan Anda yang bermakna telur. Oleh sebab itu, Brahmanda bermakna telur yang mengembang. Tegasnya, alam semesta digambarkan sebagai telur dalam semua naskah Pasca Veda, dan kelihatan ada persamaan dengan konsep sains moden. “Dari lapan putera yang lahir dari Aditi, hanya tujuh yang dibawa kepada dewa, Martanda ditinggalkan. Tujuh putera Aditi pergi ke masa sebelumnya. Untuk kelahiran dan kematian manusia, Aditi menerima Martanda semula.” (Rig Veda 10.72).

MARTANDA (TELUR MATI)

Mantra di atas menyetakan tentang Martanda yang bermakna telur mati. Maksud telur ialah alam semesta ini. Telur mati bermakna alam semesta tanpa kehidupan.

Kehidupan muncul dalam paradigma Hindu bukan dengan cara kebetulan. Namun, alam semesta berkembang untuk menjadi wujud dalam bentuk keseimbangan yang lemah. Dan menurut paradigma Veda alam semesta tidak berkembang secara berterusan, tetapi selepas mengembang pada awalnya akan menguncup semula pada akhirnya. Inilah makna dari Aditi yang pergi ke masa sebelumnya.

“Aditi mempunyai lapan putra. Hanya tujuh dari mereka yang disebut Aditya. Yang kelapan, Martanda, tidak mempunyai bahagian tubuh yang boleh dibahagi. Para Aditya melihat Martanda tidak sama dengan mereka, jadi mereka membahagi tubuhnya. Kemudian ia menjadi seorang manusia. Ia diberi nama Vivasvana dan semua manusia lahir dari dia.” (Satapatha Brahmana 3.1.3.3-4).

“Setelah mencipta alam semesta dan manusia, Prajapati pergi tidur.” (Taittiriya Brahmana 1.2.6.1), semacam ada persamaan dengan Perjanjian Lama yang menyatakan bahawa: “Tuhan berehat pada hari ketujuh setelah menyelesaikan pekerjaannya.” (Genesis 2.2).

BATAS ALAM SEMESTA

Menurut kosmologi Veda, alam semesta berbentuk seperti telur yang mempunyai batas, dan di luar alam semesta ada alam sepuluh dimensi. Batas alam semesta ini adalah tempat berlakunya pertempuran antara baik dan jahat, dewa dan raksasa serta Tuhan dan syaitan.

PERTEMPURAN INDRA DENGAN VRTRA

Wira terbilang yang mempertahankan kebaikan dalam Veda digambarkan sebagai Indra, sedangkan kepala segala kejahatan adalah Vrtra. Indra juga disebut sebagai Purandara yang bermakna yang membelah pura - kota. Pura bukanlah kota biasa, tetapi adalah alam semesta, lantaran itulah, maka sumber utama alam semesta adalah Purusa - Tuhan. Justeru, Purandara bermakna yang membelah alam semesta. Vrtra pula bermakna yang menutupi alam semesta: “Vrtra menutupi kesemua Tri Loka.” (Taittiriya Samhita 2.4.12.2).

PERANAN INDRA

“Siapakah yang meredakan getaran bumi, yang meredakan kemarahan gunung-ganang, ia yang mengukur luasnya angkasa, ia yang menopang langit, ialah Indra, wahai manusia. Siapakah yang membunuh ular dan menyebabkan tujuh sungai mengalir, yang mengeluarkan sapi-sapi yang disembunyikan oleh Bala, yang mencipta Agni dari dua buah batu, yang membunuh musuh dalam peperangan, ialah Indra, wahai manusia. Kepadanya bumi dan langit bersujud, yang kekuatannya menakutkan gunung-ganang, ia yang meminum dan melindungi soma, yang membawa vajra ditangannya, ialah Indra, wahai manusia.” (Rig Veda 2.12).

PROSES PENCIPTAAN MANUSIA

Menurut paradigma Hindu, alam semesta dicipta dalam suatu proses yang sangat panjang. Pada mulanya alam ini kosong, yang ada hanyalah Tuhan, sering disebut sebagai zaman: “duk tan hana paran-paran an rawang an ruwung” yang bermaksud: “ketika itu belum ada apa-apa dan semuanya belum menentu.”

Dengan kuasa Tuhan telah mencipta unsur utama yang disebut Purusa, iaitu roh sebagai asas yang menghidupkan segala makhluk, sama ada makhluk yang maujud mahupun yang mujarad. Lima jasad maujud atau panca maha bhuta; iaitu akasa – angkasa, bayu – angin, teja – cahaya, apah - zat cair dan pretiwi - zat padat.

Kelima-lima unsur alam ini pada mulanya masih dalam bentuk Paramanu atom. Gabungan kelima-lima unsur ini telah menghasilkan wujud baru yang disebut Brahmanda, iaitu segala planet dan bintang sebagai sebahagian dari isi alam semesta. Brahmanda maknanya benda bulat berbentuk telur ciptaan Brahman. Setelah alam semesta tercipta barulah Tuhan mencipta isinya, seperti haiwan, tumbuhan dan manusia.

Proses penciptaan manusia adalah sari dari panca maha bhuta, iaitu enam jenis rasa, seperti manis, pahit, masin, masam, pedas dan kelat. Semua unsur ini telah berpadu dengan unsur lain, iaitu cita, budi, ahangkara, dasendria, panca tanmatra dan panca maha bhuta. Sebatian kesemua unsur ini telah menghasilkan dua unsur benih kehidupan, iaitu sukla - benih lelaki dan swanita - benih perempuan. Yang demikian, maka terciptalah manusia.

Manusia pertama ciptaan Tuhan dalam ajaran agama Hindu ialah Syayambhumanu, yang bermaksud makhluk berfikir yang mengembangkan dirinya sendiri. Manu maknanya berfikir. Dari akar kata Manu timbul kata manusia yang bermaksud keturunan Manu. Selanjutnya, setelah manusia pertama tercipta atas kehendak Tuhan, maka manusia itu sendirilah yang berkembang. “Dahulu kala Prajapati mencipta manusia bersama bhakti persembahannya dan berkata dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah dunia ini menjadi sapi perahanmu.” (Bhagavad-Gita iii Sloka 10).

Om Shanti Shanti Shanti Om.