Jumat, 23 April 2010

Sains Vedik, Sintesis Sains, dan Agama Renungan Nyepi dan Saraswati : Oleh Raka Santeri

Sains Vedik, Sintesis Sains, dan Agama
Renungan Nyepi dan Saraswati : Oleh Raka Santeri
PRESENTASI Meera Nanda yang diterjemahkan dan ditulis sebagai artikel berjudul Sains Vedik dan Nasionalisme Hindu: Gugatan terhadap Upaya Sintesis Agama dan Sains (Kompas, 7/3/2003), amat menarik untuk dibahas lebih lanjut. Lebih-lebih saat umat Hindu memasuki tahun baru Saka 1925 (Hari Raya Nyepi) 2 April, dan Hari Ilmu Pengetahun (Saraswati) tanggal 5 April 2003.
Dalam artikel itu Meera Nanda menyimpulkan dua hal, yaitu "bahaya sains Vedik", dan, lebih umum, "bahaya upaya rekonsiliasi sains dan agama yang terlalu terburu-buru". Menurut dia, "Di balik topeng sains Vedik, ada upaya habis-habisan melawan Pencerahan dan Reformasi di India saat ini. Anti-Pencerahan ini menyalakan chauvinisme Hindu yang tak hanya menyebabkan bencana besar bagi agama minoritas, tetapi juga berbahaya bagi mayoritas Hindu. Sebabnya di balik topeng otentisitas budaya, cara pikir magis dan takhayul dipromosikan sebagai sains. Selama cara pikir ini bertahan di masyarakat India, mereka akan tetap tertawan oleh nabi-nabi palsu.
Dialog antara agama dan sains telah lama diwacanakan dan semakin intensif dengan berkembangnya pemahaman holistik terhadap seluruh aspek kehidupan. Pemisahan kaku antara sains sebagai "ruang publik" dan agama sebagai "ruang privat", semakin mencair. Seperti pesan Paus yang dikutip Louis Leahy (1997): "Sains dapat memurnikan agama dari kekeliruan dan takhayul; agama dapat memurnikan sains dari pemujaan dan kemutlakan palsu. Keduanya dapat menarik satu sama lain kepada suatu dunia lebih luas, dunia di mana keduanya dapat berkembang."
Maka kecenderungan mengasosiasikan ajaran agama ke wilayah sains atau sebaliknya, bisa saja menjadi kecenderungan umum di kalangan penghayat agama. Namun, mencocok-cocokkan, mengadakan rekonsiliasi antara ajaran agama dengan ilmu pengetahuan (sains), tidaklah tepat. Kaum kreasionis yang segera kehilangan pijakannya setelah muncul teori evolusi Darwin (Encyclopedia Americana, 1995), merupakan contoh. Meskipun teori penciptaan Hindu mungkin tampak lebih rasional, tetapi tetap harus ada batas tegas antara agama dan sains.
Pandangan postmodern memang membantu pendekatan agama dengan sains. Sebutlah misalnya pengalaman Fritjof Capra yang dia tulis dalam kata pengantar bukunya Tao of Physics. Ketika dia sedang duduk di tepi samudera memperhatikan ombak bergulung-gulung, dia sekonyong-konyong tersadar akan segenap lingkungannya yang terikat dalam sebuah tarian kosmis raksasa. "Sebagai fisikawan, saya mengetahui bahwa pasir, batuan, air, dan udara di sekitar saya tercipta dari molekul dan atom yang bergetar dan bahwa molekul dan atom terdiri dari partikel yang saling berinteraksi satu sama lain dengan cara mencipta dan menghancurkan partikel lain. Saya juga memahami atmosfer Bumi terus menerus dibombardir guyuran "sinar kosmis", partikel berenergi tinggi yang mengalami tumbukan berkali-kali ketika menembus udara", tulis dia. Dari riset fisika energi tinggi, Capra sangat mengakrabi gejala alam itu. Tetapi, ketika itu dia merasakan sesuatu yang istimewa. "Saya "menyaksikan" guyuran air terjun energi turun dari angkasa terluar yang di dalamnya partikel terbentuk dan hancur dalam getaran ritmis; saya "menyaksikan" atom dari elemen itu dan atom dari tubuh saya sendiri turut serta dalam tarian kosmis energi ini. Saya merasakan iramanya dan "mendengarkan" suaranya, dan pada saat itu saya memahami ini adalah Tarian Shiva, Dewa Para Penari yang dipuja puji penganut agama Hindu."
Jika Capra yang sering dikelompokkan ke dalam tradisi fisika berwawasan holistik dalam istilah "postmodernisme" mengasosiasikan "tarian" kosmis itu sebagai tarian Shiva, tidaklah berarti filosofi "penciptaan dan pemusnahan" yang terkandung dalam tarian Shiva sama persis dengan terbentuk dan hancurnya partikel-partikel dalam alam semesta. Filsafat yang terkandung dalam tarian Shiva itu harus mendorong umat Hindu lebih menguasai ilmu pengetahuan dengan metode dan sistem ilmu pengetahuan itu sendiri. Bukan sebaliknya berpuas diri dalam pandangan sempit, sambil mengatakan bahwa temuan fisika itu telah diramalkan sebelumnya dalam Veda.
PENDAPAT yang mendudukkan agama di atas sains memang dapat menjadi bahaya bagi kesadaran masyarakat, jika dilakukan berlebihan dan terburu-buru. Apalagi dengan dukungan alat kekuasaan pemerintahan yang sah, seperti yang konon dilakukan partai berkuasa Bharatiya Janata Party (BJP) dengan pengukuhan Hidutva atau ke-Hinduan-nya. Sebaliknya pandangan sains yang memonopoli kebenaran seolah-olah menjadi miliknya sendiri, juga tidak kurang bahayanya.
Namun, benarkah di balik topeng sains Vedik itu ada upaya habis-habisan melawan Pencerahan dan Reformasi? Mungkihkah bangsa (India) yang berabad-abad telah membangun tradisi spiritual dan keilmuannya, jatuh tanpa daya ke dalam genggaman chauvinisme yang menentang seluruh kemuliaan inti ajaran agama Hindu sendiri?
Sepanjang yang dapat saya baca dan hayati, tradisi beragama di India dan tradisi agama Hindu umumnya, tidaklah mengarah kepada "Anti-Pencerahan" dan pandangan chauvinistik. Malah dari sudut pandang filosofis mungkin Hindulah satu-satunya agama yang paling toleran dengan perubahan dan pencerahan. Meera Nanda sendiri mengemukakan, "Dialog antara iman dan akal, antara idealisme dan
naturalisme, bukanlah hal baru dalam agama Hindu". Veda juga sangat menganjurkan pencerahan, karena "Pencerahan merupakan jalan menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa" dan yang dimaksud dengan pencerahan di sini bukan hanya pencerahan rohani, tetapi juga "Pencerahan (yang) diperoleh melalui intelek" (Titib, 1996).
Kerinduan pada pencerahan itu pula yang menyebabkan sistem filsafat Hindu tidak seluruhnya mengakui otoritas Veda, tetapi ada juga sebagian yang tidak mengakuinya. Ucapan Upanisad yang terkenal adalah: "Follow that advice of mine which is good and helpful for your progress, and neglect even my own advice which is not" (Tigunait, 1953). Dalam latar belakang seperti itulah Siddhartha Gautama muncul dan segera dapat diterima masyarakat Hindu pada abad ke-6 SM. Meskipun lahir dan meninggal sebagai Hindu, ajarannya kemudian dikukuhkan dan berkembang menjadi agama Buddha, agama yang pernah menjadi koreksi total bagi Hindu.
Contoh lain terdapat dalam pelaksanaan Veda itu sendiri. Veda artinya pengetahuan. Kitab suci Hindu ini dilaksanakan dengan beragam pilihan
berjenjang melalui empat tingkatan, yaitu: Samhita, tingkat pengucapan mantra-mantra; Brahmana, tingkat pelengkapan mantra-mantra dengan upacara; Aranyaka, tingkat pengendalian pikiran yang mengarah kepada pencapaian Brahman (Tuhan); dan Upanisad, yaitu tingkat pencerahan diri secara penuh mencapai kelepasan (Moksha). Sari-sari Upanisad yang dikenal sebagai puncak pengetahuan tentang Veda, disebut pula dengan nama Vedanta, atau bagian akhir (kesimpulan) Veda.
Ada pendapat mengatakan agama Hindu sulit dipelajari, tetapi sangat mudah dilaksanakan. Itulah manifestasi kebhinnekaan dalam melaksanakan ajaran agama menurut Hindu, meskipun mungkin bagi pemeluk non-Hindu tampak agak aneh. Tigunait menyebut apa yang dikenal sebagai "agama" oleh masyarakat Barat, di India hanyalah berarti sekumpulan aturan sosial yang meliputi etika, tradisi,
dan ritual. Kehidupan yang menyangkut dunia luar (keluarga, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kemanusiaan) diatur agama. Sementara kehidupan menyangkut "dunia dalam" dipelajari dan dibimbing melalui filsafat yang sepenuhnya bersifat universal. "Tidak ada tembok pemisah antara filsafat dan agama, karena keduanya jalin menjalin".
Berdasarkan penjelasan itu, dapat disimpulkan agama Hindu memang mengandung unsur pengetahuan, ilmu, dan filsafat, tetapi mensintesiskan agama dengan sains tetaplah tidak tepat.
Raka Santeri Wartawan, tinggal di Denpasar
Source : Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar